Foto: Zaki, Ketua BEM UIA Paya Lipah, Bireuen, Aceh (17/7)
BIREUEN,REAKSINEWS.ID |
Dugaan penyerobotan kawasan hutan adat di Kecamatan Peudada, Kabupaten Bireuen, menuai reaksi keras dari kalangan mahasiswa. Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Islam Aceh (UIA) Paya Lipah mendesak Bupati Bireuen agar segera mengambil langkah tegas menyikapi persoalan yang dinilai mengancam kelangsungan hidup masyarakat adat serta keberlanjutan ekosistem lokal.
Ketua BEM UIA, Zaki, menyatakan bahwa tindakan pembiaran terhadap praktik perambahan dan penguasaan lahan secara sepihak merupakan bentuk kelalaian yang serius dari pemerintah daerah.
“Ini bukan sekadar pelanggaran administratif, tapi bentuk nyata pengabaian terhadap hak-hak masyarakat adat. Jika dibiarkan, dampaknya akan sistemik — mulai dari rusaknya sumber air hingga hilangnya nilai-nilai kearifan lokal yang selama ini menjaga harmoni antara manusia dan alam,” ujar Zaki dalam keterangan tertulisnya, Kamis (17/7/2025).
Berdasarkan informasi yang dihimpun BEM UIA di lapangan, terdapat aktivitas pembukaan lahan secara ilegal yang diduga dilakukan oleh oknum tertentu. Lahan tersebut selama ini digunakan oleh masyarakat adat untuk berbagai keperluan hidup berkelanjutan, seperti pemanfaatan hasil hutan non-kayu, pelestarian sumber daya air, hingga sebagai kawasan sakral berbasis kearifan lokal.
BEM UIA menilai Pemerintah Kabupaten Bireuen—khususnya Bupati—harus turun langsung untuk melakukan verifikasi dan menghentikan segala bentuk pelanggaran. Zaki menyebut, penegakan hukum dan keberpihakan terhadap masyarakat adat semestinya menjadi kompas moral pemerintah dalam menyikapi persoalan-persoalan agraria dan kehutanan di daerah.
“Negara, melalui pemerintah daerah, tidak boleh tunduk pada kepentingan ekonomi sesaat yang mencederai hak-hak kolektif warga. Keberpihakan terhadap rakyat harus nyata, bukan sekadar retorika,” ujarnya.
BEM UIA juga meminta intervensi aktif dari kepolisian, Dinas Lingkungan Hidup, dan Dinas Kehutanan Aceh untuk melakukan investigasi menyeluruh terhadap praktik-praktik ilegal yang terjadi di kawasan tersebut. Mahasiswa mendesak agar seluruh proses hukum dilakukan secara transparan, serta melibatkan partisipasi masyarakat sebagai pemilik sah hutan adat.
Sebagai bentuk keseriusan, BEM UIA menyatakan akan menggalang dukungan publik dan menjalin kolaborasi dengan jaringan masyarakat sipil serta akademisi. Upaya ini dilakukan untuk memperkuat posisi hukum masyarakat adat, sekaligus membentengi kawasan hutan dari eksploitasi oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab.
“Kami tidak akan tinggal diam. Ini bukan hanya soal tanah, tetapi soal masa depan generasi, soal keadilan ekologis, dan soal kelangsungan hidup sosial budaya masyarakat Aceh,” tegas Zaki.
Kasus Peudada mencerminkan persoalan laten yang kerap terjadi di banyak daerah di Aceh, di mana kawasan adat dan hutan ulayat masih rentan terhadap praktik perampasan lahan atas nama pembangunan atau kepentingan ekonomi kelompok tertentu. Lemahnya tata kelola kehutanan dan perlindungan hak masyarakat adat menjadi catatan kritis yang harus segera dijawab dengan kebijakan afirmatif, bukan sekadar reaksi sesaat.(**)