Foto: M. Mufti Mubarok, Ketua Badan Perlindungan Konsumen Nasional Republik Indonesia (16/7)
JAKARTA,REAKSINEWS.ID | Skandal beras oplosan kembali mencuat setelah Kementerian Pertanian bersama Satgas Pangan Polri menemukan sebanyak 212 merek beras di pasaran tidak sesuai label dan standar mutu. Temuan ini mengguncang kepercayaan publik terhadap kualitas pangan pokok masyarakat dan memicu keprihatinan luas atas lemahnya pengawasan serta dampak kesehatan yang mengintai.
Ketua Badan Perlindungan Konsumen Nasional Republik Indonesia (BPKN RI), M. Mufti Mubarok, menyebutkan hasil investigasi pihaknya menunjukkan dua bentuk kecurangan utama yang dilakukan produsen: takaran yang tidak sesuai dan label mutu yang menyesatkan. Banyak beras yang dikemas dalam label 5 kilogram ternyata hanya berisi 4,5 kilogram. Bahkan ada yang mengklaim sebagai beras premium, namun isinya berkualitas biasa.
"Praktik semacam ini jelas merugikan konsumen. Tak hanya berdampak pada keuangan rumah tangga, namun juga berisiko menimbulkan gejolak harga dan masalah kesehatan masyarakat dalam jangka panjang," kata Mufti, yang juga menjabat Wakil Ketua Umum KADIN Indonesia, di Jakarta, Selasa (16/7).
Mufti menyayangkan bahwa praktik oplosan ini masih marak terjadi meskipun pemerintah sedang menggencarkan program makan bergizi gratis untuk anak-anak sekolah.
"Bagaimana program makan bergizi bisa efektif jika bahan pangannya justru tercemar praktik curang seperti ini? Ini penipuan sistematis oleh mafia beras yang harus ditindak tegas," tegasnya.
Menurut BPKN, setidaknya ada dua jenis beras oplosan yang perlu diwaspadai oleh masyarakat:
-
Beras Campuran (Blended Rice)
Beras jenis ini mencampurkan dua atau lebih varietas, misalnya beras premium dicampur dengan beras murah. Jika tidak dicantumkan jelas pada kemasan, praktik ini dikategorikan sebagai penipuan dan pelanggaran hukum. -
Beras Rusak yang Dikilapkan
Ini merupakan jenis oplosan paling berbahaya. Beras yang sudah rusak karena jamur atau penyimpanan lama diproses ulang menggunakan bahan pemutih, pengawet, atau pewangi sintetis untuk membuat tampilannya seperti baru. Kandungan zat kimia tersebut berisiko tinggi terhadap sistem pencernaan, hati, ginjal, dan imunitas tubuh.
"Konsumen harus mengetahui bahwa beras oplosan bukan hanya soal penipuan harga, tapi ancaman nyata bagi kesehatan keluarga mereka," ujar Mufti.
BPKN mendesak pemerintah untuk tidak saling lempar tanggung jawab, terutama karena saat ini terdapat banyak lembaga yang memiliki kewenangan di bidang pangan. Pemerintah dinilai wajib hadir secara langsung dalam pengawasan, serta memberikan sanksi tegas terhadap pelaku usaha yang terbukti curang.
BPKN juga mendorong konsumen untuk lebih aktif: mengajukan pengaduan, mengembalikan produk yang dicurigai, bahkan melakukan class action bersama lembaga perlindungan konsumen.
"Semua ritel, termasuk supermarket besar, wajib membuka ruang pengaduan terbuka. Jika perlu, dilakukan uji timbangan dan kualitas di tempat secara langsung," tegasnya.
Mufti menambahkan bahwa konsumen dapat menggandeng Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM) untuk menempuh langkah hukum secara kolektif terhadap produsen dan distributor nakal.
"Langkah class action harus menjadi opsi strategis. Selain itu, sanksi bagi pelaku tidak boleh berhenti pada teguran administratif—mereka harus dikenai hukuman tegas hingga pencabutan izin usaha, agar menimbulkan efek jera dan menyehatkan ekosistem pangan nasional," pungkasnya.(**)