Tgk. Hasan di Tiro Wafat: Perginya Sang Ideolog dan Deklarator Aceh Merdeka

Oleh: Juwaini Husen

Foto:Banda Aceh,Juwaini Husen,Tgk.Hasan di Tiro,Deklarator dan Ideolog GAM (Wikipedia) 

BANDA ACEH,REAKSINEWS.ID | Tepat pada tanggal 3 Juni 2010, Aceh kehilangan salah satu putra terbaiknya. Tgk. Hasan Muhammad di Tiro, tokoh sentral di balik Gerakan Aceh Merdeka (GAM), menghembuskan napas terakhir di Rumah Sakit Umum Zainoel Abidin, Banda Aceh, dalam usia 84 tahun. Kepergiannya menandai akhir dari satu babak panjang perjuangan Aceh dalam memperjuangkan martabat dan jati dirinya.

Hasan Tiro bukan hanya deklarator GAM. Ia adalah seorang ideolog, pemikir, dan tokoh perlawanan yang melintasi batas usia, geografi, bahkan zaman. Bagiku—dan mungkin banyak orang Aceh lainnya—Hasan Tiro bukan sekadar simbol perjuangan bersenjata, tetapi penjaga api semangat identitas dan harga diri bangsa Aceh.

Saya memang tak pernah mengenal beliau secara pribadi. Namun sejumlah karyanya pernah saya baca. Di antara halaman-halaman itu, saya menangkap narasi besar tentang bagaimana Aceh tidak hanya ingin merdeka secara teritorial, tetapi juga secara martabat, budaya, dan peran dalam percaturan dunia.

Hasan Tiro menulis dengan perspektif global. Ia menempatkan Aceh bukan sebagai provinsi yang terpinggirkan, melainkan sebagai entitas historis yang punya peran penting dalam sejarah panjang kawasan Asia Tenggara. Ia membayangkan Aceh sebagai bangsa—dengan adat, bahasa, dan sejarah perlawanan yang khas—yang berhak menentukan nasibnya sendiri.

Tak bisa dimungkiri, perjuangan Hasan Tiro dilatari oleh kenyataan getir: Aceh yang kaya sumber daya alam justru sering kali terpinggirkan dari arus pembangunan nasional. Janji-janji politik pusat kepada rakyat Aceh acap kali tidak terpenuhi. Kekecewaan itu mengkristal menjadi gerakan politik yang ia nyatakan secara terbuka pada 4 Desember 1976 di Gunung Halimun, Pidie, ketika mendeklarasikan GAM.

Dari sana, ia memilih jalan panjang dan berliku: pengasingan, perlawanan diplomatik, dan perjuangan ideologis. Selama lebih dari dua dekade, Hasan Tiro hidup di pengasingan, terutama di Swedia, membangun jaringan internasional untuk menggalang dukungan bagi perjuangan Aceh. Ia membawa isu Aceh ke forum-forum dunia, dari Eropa hingga Amerika Serikat.

Perjuangannya tidak hanya berdasar emosi, tetapi pada logika sejarah. Ia pernah menyampaikan, bahwa Aceh adalah bangsa yang telah menjalin relasi internasional jauh sebelum Republik Indonesia terbentuk—sebuah klaim yang ia buktikan melalui riset dan tulisan-tulisannya.

Hasan Tiro bukan tanpa kontroversi. Namun cinta dan dedikasinya pada Aceh tak terbantahkan. Ia menghabiskan sebagian besar hidupnya untuk cita-cita yang tidak sempat ia nikmati hasilnya secara penuh. Ironisnya, ia baru kembali ke tanah kelahirannya setelah perdamaian tercapai melalui Perjanjian Helsinki pada 2005. Sebuah pulang yang simbolis dan penuh makna.

Kini, saat beliau telah tiada, sosok seperti Hasan Tiro mungkin tak akan lagi lahir dalam waktu dekat. Ia bukan hanya pemimpin, tetapi juga arsitek ideologi, seorang pejuang yang membawa Aceh ke panggung dunia lewat kata, senjata, dan diplomasi.

Aceh kehilangan seorang tokoh. Indonesia kehilangan satu potret penting dari sejarah bangsanya. Dan saya, seperti banyak rakyat Aceh lainnya, merasa kehilangan seorang panutan.

Allahummaghfirlahu warhamhu.(**) 


BANDA ACEH

3 JUNI 2025

Juwaini Husen

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak