Foto: Hasan Basri., S.Pd., MM bersama, Abdul Hamid, S.Pd., M.Pd (dok)
BANDA ACEH,REAKSINEWS.ID | Perubahan perilaku di kalangan pelajar dewasa ini menjadi perhatian serius. Di tengah pesatnya arus digitalisasi, tayangan yang awalnya bersifat hiburan kini menjelma menjadi "tuntunan" yang memengaruhi pola pikir dan perilaku generasi muda. Fenomena ini memunculkan kekhawatiran, terutama terkait dengan maraknya penggunaan bahasa kasar, lunturnya sopan santun, serta berkurangnya rasa hormat terhadap orang tua dan guru.
Gejala krisis moral ini bukan sekadar persoalan disiplin, tetapi sudah menyentuh akar budaya dan etika generasi muda. Di berbagai ruang publik—baik dunia nyata maupun media sosial—mudah ditemukan ekspresi verbal yang kasar, ujaran sarkastik, bahkan kebanggaan terhadap perilaku menyimpang. Semua ini menunjukkan adanya erosi nilai yang berpotensi mengancam masa depan bangsa jika tidak segera ditangani secara sistematis.
Merespons kondisi tersebut, anggota Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA), Waled Landeng, mengusulkan pembentukan satuan tugas untuk menertibkan penggunaan kata-kata kotor di kalangan pelajar. Gagasan ini patut diapresiasi sebagai bentuk kepedulian dan upaya konkret menghadapi krisis moral yang semakin nyata.
Namun demikian, upaya penertiban melalui langkah represif seperti penangkapan atau pembinaan tidak dapat berdiri sendiri. Dibutuhkan pendekatan yang lebih menyentuh akar persoalan, yakni pembentukan karakter secara mendalam dan berkelanjutan melalui konsep deep learning—bukan dalam pengertian kecerdasan buatan, melainkan sebagai proses pembelajaran yang intensif, reflektif, dan transformatif di semua lini kehidupan: keluarga, sekolah, dan masyarakat.
Keluarga: Pilar Awal Pembentukan Karakter
Keluarga merupakan institusi pertama dalam pendidikan moral. Di sinilah nilai-nilai dasar seperti sopan santun, empati, dan tanggung jawab mulai ditanamkan. Orang tua memegang peran sentral sebagai teladan dalam etika komunikasi dan perilaku sehari-hari.
Dalam konteks ini, deep learning berarti proses pembiasaan yang terus-menerus. Anak tidak cukup hanya dilarang menonton konten negatif, tetapi juga diajak berdialog secara terbuka untuk memahami dampaknya. Kesadaran tentang pentingnya menjaga lisan dan menghormati sesama harus tumbuh dari pemahaman, bukan ketakutan.
Sekolah: Integrasi Kurikulum dan Transformasi Peran Guru
Sekolah sebagai lembaga formal pendidikan memiliki tanggung jawab strategis untuk memperkuat karakter pelajar. Kurikulum idealnya tidak hanya mengedepankan aspek akademik, tetapi juga mengintegrasikan pendidikan moral, etika komunikasi, serta literasi digital.
Guru perlu bertransformasi menjadi fasilitator pembelajaran karakter—bukan hanya pengajar mata pelajaran. Program ekstrakurikuler yang menumbuhkan empati, kepemimpinan, dan kerja sama bisa menjadi ruang efektif untuk menanamkan nilai-nilai luhur secara aplikatif. Pendidikan karakter harus disampaikan bukan sebagai materi hafalan, melainkan melalui keteladanan dan pengalaman langsung.
Masyarakat: Membangun Ekosistem Nilai
Lingkungan sosial tempat pelajar tumbuh turut membentuk karakter mereka. Tokoh masyarakat, pemuka agama, hingga figur publik memiliki tanggung jawab moral untuk menjadi panutan dalam menjaga etika berbahasa dan bertingkah laku. Kampanye publik mengenai pentingnya menjaga lisan dan sopan santun di ruang digital maupun nyata harus digalakkan secara konsisten.
Kegiatan sosial berbasis komunitas, seperti bakti sosial, forum pemuda, dan kegiatan seni budaya, dapat menjadi media untuk menanamkan rasa tanggung jawab, solidaritas, dan identitas kebangsaan.
Regulasi dan Internalisasi: Dua Sayap Pendidikan Moral
Usulan regulasi yang membatasi penggunaan kata-kata kasar tentu penting sebagai kerangka hukum. Namun, regulasi tanpa internalisasi nilai akan kehilangan efektivitas jangka panjang. Pelajar bisa saja patuh karena takut dihukum, tetapi tidak memahami esensi moral di balik larangan tersebut.
Inilah mengapa pendekatan deep learning harus dikedepankan. Anak-anak tidak hanya diberi tahu apa yang salah, tetapi juga diajak memahami mengapa hal itu salah dan bagaimana hal itu memengaruhi diri sendiri maupun orang lain. Pembelajaran yang berakar pada refleksi diri dan pengalaman nyata akan lebih membekas ketimbang sekadar instruksi atau sanksi.
Menyelamatkan Generasi
Krisis moral di kalangan pelajar harus dijawab dengan pendekatan yang holistik dan berkesinambungan. Pendidikan karakter bukan proyek sesaat, melainkan investasi jangka panjang yang menuntut sinergi antara keluarga, sekolah, masyarakat, dan negara. Di tengah tantangan era digital, membekali generasi muda dengan nilai-nilai luhur melalui deep learning adalah jalan terbaik untuk memastikan masa depan bangsa tetap kokoh berpijak pada fondasi moral yang kuat.(**)
Oleh:
Hasan Basri., S.Pd., MM
Kepala SMAN 1 Simpang Mamplam, Bireuen, Aceh
Minggu, 1 Juni 2025