
Foto: Ilustrasi
OPINI,ACEH,REAKSINEWS.ID | Seragam khaki di negeri ini bukan sekadar pakaian dinas. Ia menjelma kostum panggung, tempat sang aktor bisa berganti wajah sesuka hati: pagi sebagai pejabat yang berkhutbah tentang loyalitas dan netralitas; sore menjelma wartawan kritis yang seolah-olah menggenggam pena independensi; malam hari berubah menjadi pengurus ormas dengan jargon perjuangan rakyat.
Satu tubuh, tiga wajah. Bukankah itu mukjizat birokrasi yang paling “suci”?
Konon, peraturan negara melarang abdi publik merangkap pekerjaan. Tetapi di banyak tempat, aturan itu sekadar papan pengumuman pudar di tembok kantor: dilihat sekilas, dilupakan segera. Merangkap profesi bahkan dianggap seni bertahan hidup. Dalihnya klasik: “Kalau gaji tak cukup, mengapa tidak mencari napas tambahan?” Dalih manis, tapi aromanya basi.
Ironinya, setiap profesi yang dirangkap memiliki sumpah berbeda. ASN bersumpah setia kepada negara. Wartawan bersumpah setia kepada kebenaran. Ormas bersumpah setia kepada kelompoknya. Ketika tiga sumpah itu dilarutkan dalam satu cangkir, yang tersaji tentu bukan madu, melainkan racun konflik kepentingan. Anehnya, racun itu tetap diteguk dengan puas, seolah-olah justru itulah minuman kebanggaan.
Bayangkan dilema seorang wartawan sekaligus ASN ketika meliput kasus yang melibatkan instansinya sendiri. Pena di tangan kanan ingin menulis fakta, tapi seragam di punggung berbisik: “Loyallah, jangan buka aib keluarga.” Hasilnya? Laporan setengah benar, kritik setengah tajam. Negeri ini memang piawai melahirkan insan serba setengah.
Konflik kepentingan semakin runyam saat rahasia kantor berpindah ke meja ormas, atau pengaruh ormas merembes ke ruang kerja birokrasi. Semua berlangsung mulus karena siapa yang berani menegur? Atasan sibuk menutup mata, bawahan menutup mulut, publik terpaksa menutup hidung mencium busuk yang kian menyengat.
Padahal, kitab aturan sudah jelas: disiplin, netral, profesional. Namun, di tangan para abdi seribu wajah, aturan itu hanya kitab kuno di lemari kayu—dihormati debunya, dilupakan isinya. Yang dipuja justru kelihaian mencari celah. Sanksi disiplin hanyalah hantu yang dipanggil dalam rapat lalu kembali ke alam gaib tanpa bekas.
Tidak heran bila publik makin muak. Bagaimana bisa percaya pada aparatur yang wajahnya seperti karet—lentur, bisa dipilin sesuai kepentingan? Kepercayaan rakyat terkikis seperti mural usang yang diguyur hujan, menyisakan coretan kusam: pejabat serba bisa, tapi tak pernah benar-benar bekerja.
Solusi tentu selalu ada. Sayangnya, ia berhenti di meja birokrat: diperiksa, dirapatkan, diarsipkan. Hukuman tegas hanyalah legenda, diceritakan di seminar-seminar tanpa jejak nyata. Sementara itu, sang abdi seribu wajah masih bebas memainkan lakon: pagi jadi pejabat, sore jadi jurnalis, malam jadi orator. Tepuk tangan penonton—entah kagum, entah terpaksa—tetap bergema.
Dan kita, penonton setia republik ini, hanya bisa bertanya: kapan tirai panggung itu akhirnya ditutup, dan para aktor diminta turun… tanpa kostum, tanpa topeng?
Aceh, 18 Agustus 2025