Oleh: M. Ilham
![]() |
Foto: Ilustrasi |
ACEH,REAKSINEWS.ID | Di sebuah kota kabupaten di Aceh, sekelompok wartawan lokal berkumpul di gedung tua yang catnya mengelupas. Mereka datang bukan untuk liputan seremonial, melainkan mengadu. Yang mereka bawa bukan berita, melainkan keresahan: sebuah peraturan bupati yang seolah manis, tetapi sesungguhnya tajam seperti gunting—siap menebas lidah pers yang dianggap tak patuh.
Peraturan itu diberi alasan mulia: menertibkan kerja sama media, agar informasi pembangunan daerah tersampaikan rapi. Tetapi di balik bahasa hukum yang sejuk, terselip syarat ganjil—hanya media yang berlabel resmi dari pusat yang boleh menyebarkan informasi. Media lokal yang tumbuh dari keringat sendiri otomatis dipinggirkan, dianggap tak layak bicara di ruang publik.
Pasal itu dingin, birokratis: media wajib berbadan hukum dan diverifikasi. Sekilas masuk akal. Namun ketika ditarik ke praktik, ia berubah menjadi karet elastis—mudah dibentangkan sepanjang selera penguasa. Padahal, Undang-Undang Pers Nasional tidak pernah mewajibkan syarat itu. Di sinilah jebakan bekerja: standar yang bersifat opsional justru dijadikan palu pemukul.
Bayangkan sebuah warung kopi di kampung yang diminta sertifikat internasional hanya untuk menjual kopi pahit. Begitulah posisi media lokal. Mereka kecil, tapi vital. Merekalah yang pertama kali menulis tentang jalan berlubang, pungutan liar di desa, atau pasien terlantar di rumah sakit. Namun di mata penguasa, suara mereka dipandang tak lebih dari nyanyian jangkrik di malam hari: bising, tapi tak berguna.
Ironi semakin pahit ketika seorang anggota legislatif mengaku baru tahu ada peraturan itu, padahal enam tahun sudah ia duduk di kursinya. Enam tahun tanpa membaca satu pasal pun. Apakah ia sibuk tidur dengan mata terbuka? Atau telinganya ditutup kapas, hanya bisa mendengar tepuk tangan di acara peresmian proyek? Fakta ini menyodorkan dua kemungkinan: pemerintah menutup diri dari legislatif, atau wakil rakyat rela menjadi wayang yang digerakkan dalang eksekutif.
Janji evaluasi dan revisi pun meluncur dari bibir pejabat. Kata “akan” diucapkan berulang, seperti mata uang cadangan yang tak pernah habis. Dari periode ke periode, “akan” selalu hadir, tak pernah diuangkan, tak pernah jadi kenyataan. Rakyat menunggu, media menunggu, tetapi janji tetap berdiri sebagai monumen kosong di tengah alun-alun.
Di tengah kerumitan aturan ini, media lokal menjadi korban paling getir. Mereka tidak punya modal besar, tidak terhubung ke jaringan konglomerasi media nasional. Mereka berdiri di atas tekad jurnalis daerah dengan laptop usang dan motor kredit. Namun justru dari mereka publik pertama kali tahu kabar jalan amblas, proyek mangkrak, atau birokrasi busuk.
Sayangnya, di mata penguasa, media lokal diperlakukan bak anak tiri. Prestasi mereka diabaikan, kritik mereka dianggap cari makan. Kini, lewat peraturan baru, mereka bahkan hendak dipotong lidahnya.
Penguasa daerah tampaknya hanya ingin media berfungsi sebagai cermin besar—memantulkan wajah gagah, menyanjung pidato, membingkai janji pembangunan. Mereka enggan menerima media sebagai kaca pembesar yang memperlihatkan noda di balik jas resmi. Maka lahirlah peraturan yang mengatur siapa boleh bicara, siapa harus diam.
Sandiwara ini terlalu sering dipentaskan: pemerintah pura-pura mendengar, wartawan pura-pura percaya, rakyat pura-pura paham. Semua memainkan lakon lama demokrasi yang dikemas ulang dengan kostum baru.
Media lokal pun akhirnya diperlakukan seperti burung dalam sangkar emas. Diberi makan cukup, boleh berkicau setiap pagi, tapi jangan pernah bermimpi terbang. Boleh menulis pujian, tapi dilarang bersuara keras soal borok kekuasaan.
Di warung kopi, cerita ini berakhir dengan tawa getir. Para wartawan senior menyeruput kopi pahit sambil berbisik: “Beginilah nasib kita, jangkrik yang dianggap pengganggu tidur pejabat.” Mereka tahu revisi mungkin akan datang, syarat mungkin akan dilonggarkan. Tetapi sejarah menunjukkan, bila penguasa sudah nyaman dengan aturan yang membungkam, revisi hanyalah kosmetik.
Sebab yang bisa direvisi hanyalah kalimat di atas kertas, bukan watak kekuasaan. Sejak dulu hingga kini, penguasa lebih suka mendengar tepuk tangan daripada kritik. Mereka lebih memilih tidur nyenyak ditemani sunyi ketimbang terbangun oleh suara jangkrik yang—ironisnya—justru menjaga sawah dari hama.
Maka kebebasan pers di kabupaten itu kini tinggal legenda. Kelak, ia hanya akan dikenang dalam bisik-bisik: bahwa pernah ada masa wartawan bisa menulis bebas, sebelum lidah mereka digunting oleh sebuah peraturan lahir dari rahim kekuasaan yang gamang mendengar kebenaran.(MIS)