Oleh: Juwaini Husen
![]() |
Foto: Ilustrasi |
ACEH,REAKSINEWS.ID | Suara kursi berderit. Beberapa mahasiswa masih bercanda, sebagian sibuk dengan ponsel. Pintu ruang kuliah terbuka. Seorang Dosen senior masuk dengan langkah pelan namun mantap, menenteng spidol hitam. Sorot matanya tajam, tapi tidak dingin.
“Siang ini…” ia berhenti sejenak, membiarkan suasana hening, “…kita tidak akan membicarakan teori. Kita akan bicara tentang hidup.”
Senyum tipisnya membuat beberapa mahasiswa saling pandang, bertanya-tanya.
“Kamu,” ujarnya sambil menunjuk seorang mahasiswa di bangku depan, “Rafi, maju ke sini.”
Langkah Rafi terdengar di lantai yang licin. Ia menerima spidol dari Dosen.
“Tuliskan sepuluh nama orang terdekatmu.”
Rafi menulis satu per satu: Ayah, Ibu, Istri, Anak, Kakak, Sahabat lama, Tetangga, Rekan kerja, Paman, Guru SMP.
“Hapus tiga nama yang paling mungkin kamu lepaskan,” kata profesor.
Rafi menghapus Tetangga, Paman, Guru SMP.
“Hapus dua lagi.”
Rekan kerja dan Sahabatnya hilang dari daftar.
“Hapus dua lagi.”
Rafi menatap papan lebih lama kali ini, lalu menghapus Ayah dan Kakaknya.
Kini tersisa tiga: Ibu, Istri, Anak.
Ruang kuliah mulai sunyi. Beberapa mahasiswa menahan napas.
“Hapus satu lagi,” perintah sang Dosen Pembimbing.
Tangan Rafi terhenti di udara. Ingatannya melayang pada sosok ibunya, yang dulu membopongnya saat sakit, yang rela berjalan jauh demi membelikannya sepatu untuk masuk sekolah.
“Ibu…” bisiknya tanpa suara.
Perlahan, ia menghapus nama Ibu.
Papan tulis kini menyisakan Istri dan Anak.
“Hapus satu lagi,” kata Dosen dengan nada datar, seolah yang diminta itu hal biasa.
Rafi teringat rumah kontrakan kecil dengan atap bocor. Hujan deras malam itu, air menetes di banyak sudut ruangan. Ia duduk termenung, dagangannya hari itu tak laku.
Istrinya datang membawa teh hangat.
“Tak apa, Bang,” ucapnya lembut. “Besok kita coba lagi. Allah pasti buka jalan.”
Ia juga teringat saat anaknya lahir, ketika istrinya berjuang sendirian di ruang bersalin karena ia masih bekerja. Bagaimana wajah lelah istrinya tetap tersenyum menyambutnya di rumah sakit.
Di ruang kuliah, Rafi menatap papan tulis. Tangannya gemetar.
Ia menghapus kata Anak.
Spidolnya jatuh. Air matanya menetes tanpa bisa ditahan.
Keheningan memenuhi ruangan. Hanya ada satu kata besar di papan tulis: ISTRI.
Tanpa disadari, sang sosok Dosen melangkah mendekat, mengambil spidol.
“Kamu tidak memilih orang tua yang Membesarkanmu, tidak juga anak yang lahir dari darah dagingmu. Mengapa kamu memilih istrimu? Bukankah istri bisa dicari lagi?”
Rafi mengangkat wajahnya. Suaranya bergetar, tapi tegas.
“Orang tua saya akan pergi suatu hari nanti. Anak saya pun, ketika dewasa, akan membangun hidupnya sendiri.
Tapi istri… dia akan tetap di sisi saya. Dia yang memegang tangan saya ketika saya jatuh, yang memeluk saya saat saya kalah, yang ikut menanggung lapar, letih, dan sakitnya hidup.
Orang tua dan anak adalah anugerah Tuhan, diberikan tanpa saya memilih. Tapi istri… dialah yang saya pilih, dari miliaran perempuan di dunia, untuk berjalan bersama sampai akhir.”
Inilah Hakikatnya kemuliaan dan derajat seorang istri dibalik layar pilihan impian suami.
Beberapa mahasiswa menyeka mata diam-diam. Bahkan Bapak Dosen itu hanya berdiri menatap papan tulis, membiarkan makna kata ISTRI meresap ke setiap hati yang ada di ruangan itu.
Di luar, matahari sore menembus kaca jendela, memberi cahaya keemasan pada huruf-huruf besar itu. Seolah langit pun ingin mengingatkan: di tengah badai hidup, satu-satunya yang akan tetap menggenggam tanganmu adalah dia yang kau pilih, dan yang juga memilihmu.
Batee Iliek, Aceh, Senin, 11 Agustus 2025