Foto: Rangkaian Prosesi Pemulangan Jasad Prada Lucky Chepril Saputra Namo (doc)
NAGEKEO, NTT,REAKSINEWS.ID | Prada Lucky Chepril Saputra Namo (23) datang ke Nagekeo, Nusa Tenggara Timur, dengan semangat membangun. Tepat 1 Juli 2025, ia bersama 559 prajurit Batalyon Teritorial Pembangunan (TP) 834 Wakanga Mere menjejakkan kaki di daerah penugasan, membawa misi membangun markas di Desa Tonggurambang, Kecamatan Aesesa.
Namun, 32 hari kemudian, Lucky pulang dalam peti jenazah. Harapan mengabdi untuk bangsa berakhir tragis, digantikan tanda tanya besar: apa yang sebenarnya terjadi di antara tanggal kedatangan dan kematiannya?
Lucky baru saja memulai perjalanan militernya. Ia dinyatakan lulus seleksi pada Februari 2025 dan dilantik menjadi anggota TNI AD di Rindam IX Udayana, Singaraja, Bali, pada Juni 2025. Putra kedua dari pasangan Serma Christian Namo dan Sepriana Paulina Mirpey ini berasal dari keluarga militer; sang ayah masih aktif bertugas.
Penempatan di Nagekeo menjadi penugasan pertamanya. Batalyon TP 834 sendiri memiliki tugas ganda: membangun infrastruktur markas sekaligus membaur dengan masyarakat setempat dalam program teritorial.
Sumber internal militer yang enggan disebutkan namanya menyebutkan, sehari sebelum jatuh sakit, Lucky mengalami insiden di barak. Dugaan sementara mengarah pada penganiayaan yang melibatkan rekan dan seniornya.
Sabtu (2/8/2025), Lucky dilarikan ke RSUD Aeramo dalam kondisi kritis. Ia menjalani perawatan intensif di ICU selama empat hari. Tim medis menyebutkan adanya cedera pada tubuhnya, meski hasil visum resmi masih menunggu rilis pihak berwenang.
Rabu (6/8/2025) pukul dini hari, nyawanya tak tertolong.
Kamis (7/8/2025), jenazah Lucky diterbangkan dari Bandara Haji Aeroboesman Ende menuju Kupang menggunakan pesawat Wings Air. Pukul 13.50 WITA, pesawat mendarat di Bandara El Tari.
Atas permintaan keluarga, jasadnya langsung dibawa ke Rumah Sakit Tentara (RST) Wira Sakti Kupang untuk visum dan pemeriksaan forensik. Proses ini penting untuk memastikan apakah kematian Lucky murni akibat sakit atau karena tindak kekerasan.
Kasus kematian prajurit dalam masa tugas berada di ranah hukum militer. Jika dugaan penganiayaan terbukti, pelaku dapat dijerat Pasal 351 KUHP tentang penganiayaan, yang dalam sistem militer diproses melalui pengadilan militer. Hukuman bisa diperberat jika korban meninggal dunia.
Pakar hukum militer dari Universitas Pertahanan, Kol (Purn) Andreas Tani, menegaskan, “TNI memiliki mekanisme internal untuk menindak pelaku pelanggaran disiplin maupun pidana. Namun, karena ini menyangkut nyawa, transparansi menjadi kunci agar kepercayaan publik tetap terjaga.”
Kematian Lucky bukan sekadar kasus personal. Peristiwa ini menambah daftar panjang dugaan kekerasan dalam lingkungan pendidikan dan pembinaan militer yang berujung kematian.
Lembaga advokasi HAM mengingatkan perlunya reformasi pola pembinaan prajurit baru. “TNI adalah garda terdepan pertahanan negara. Kekerasan internal yang berujung kematian tidak hanya melukai keluarga korban, tetapi juga merusak citra institusi,” ujar aktivis HAM NTT, Maria Bunga.
Hingga kini, keluarga besar Lucky masih menunggu kepastian penyebab kematiannya. Serma Christian Namo, sang ayah, hanya berharap kasus ini diusut tuntas.
“Saya titipkan anak saya untuk mengabdi pada negara. Saya ingin keadilan ditegakkan, siapa pun yang bersalah harus dihukum,” ucapnya singkat.
Misteri kematian Prada Lucky kini menjadi ujian bagi transparansi dan akuntabilitas institusi militer. Publik menunggu, apakah kasus ini akan berakhir di meja pengadilan militer dengan vonis setimpal, atau justru tenggelam di balik dinding barak.(Tim)