Foto: Yusri,.S.Sos,.M.Sos, Ketua Gabungan organisasi wartawan Kabupaten Bireuen, Aceh (19/6)
BIREUEN,REAKSINEWS.ID | Di tengah gembar-gembor keterbukaan informasi publik, realitas justru berbicara sebaliknya. Gabungan organisasi wartawan peliput Kabupaten Bireuen menyampaikan kekecewaan mendalam atas sikap bungkam yang ditunjukkan Bagian Protokol dan Komunikasi Pimpinan (Prokopim) Setdakab Bireuen, yang hingga sebulan lebih tak kunjung merespons permohonan audiensi dengan Bupati Mukhlis, ST.
Surat resmi telah dilayangkan sejak beberapa pekan lalu, namun seperti tercebur ke sumur diam: tak bergeming, tak berbalas. Ironisnya, Humas Pemkab yang seharusnya menjadi jembatan komunikasi, justru menjadi tembok bisu.
“Ini bukan sekadar soal surat menyurat. Ini menyangkut etika komunikasi dan kredibilitas institusi,” tegas Yusri, S.Sos, Koordinator Gabungan Organisasi Wartawan, Kamis (19 Juni 2025).
Menurutnya, para jurnalis telah terlebih dahulu disambut oleh Wakil Bupati dan Ketua DPRK, bahkan mendapatkan dukungan untuk meninjau kembali sejumlah pasal dalam Peraturan Bupati (Perbub) Nomor 46 Tahun 2022 yang mengatur kerja sama publikasi dan penyebarluasan informasi pemerintahan. Tapi, langkah untuk bertemu sang kepala daerah justru macet di "gerbang resmi komunikasi" Pemkab.
“Kalau Humas saja tak mampu menyalurkan surat audiensi wartawan kepada Bupati, lalu kepada siapa lagi rakyat harus menyampaikan aspirasi?” tukas Yusri tajam. “Ini bukan tentang kepentingan segelintir orang, tapi tentang relasi sehat antara pemerintah dan pilar keempat demokrasi.”
Pertemuan dengan Ketua DPRK Bireuen, Junaidi, SH, pada akhir Mei lalu berlangsung terbuka dan konstruktif. Dalam forum yang juga dihadiri anggota DPRK lainnya seperti Taufid Ridha (Golkar) dan M. Yunus (PAN), perwakilan lima organisasi wartawan (SWI, PWA, PPWI, PWRI, dan FJA) menyampaikan keprihatinan atas regulasi yang dianggap menghambat independensi dan profesionalisme media.
Menanggapi hal itu, Ketua DPRK bahkan menyatakan siap menjembatani dialog dengan Bupati. “Saya tidak mungkin menutup mata atas apa yang disuarakan rekan-rekan wartawan. Kalian adalah mitra strategis pembangunan daerah,” ujarnya.
Namun berbeda dengan DPRK, Prokopim justru menampilkan wajah birokrasi klasik yang canggung dan kaku dalam berkomunikasi. Di saat teknologi menjadikan komunikasi secepat kilat, surat wartawan di meja Humas seolah tertimbun zaman.
“Jika diam dijadikan strategi, maka jangan salahkan publik jika mulai curiga. Ini preseden buruk dalam hubungan pers dan pemerintah,” lanjut Yusri.
Sikap pasif ini dinilai bukan sekadar kelalaian teknis, melainkan cerminan dari sikap politik terhadap media. Saat ruang dialog ditutup rapat, yang tumbuh adalah prasangka dan ketidakpercayaan.
Gabungan wartawan Bireuen menegaskan bahwa mereka tidak mencari panggung, apalagi konflik. Mereka hanya ingin memastikan bahwa suara publik tetap punya saluran, bukan hanya slogan di atas baliho.
“Jika pemerintah takut berdialog, lalu demokrasi macam apa yang sedang kita jalankan?” pungkas Yusri, mengakhiri pernyataannya.(**)