Tantangan dan Tata Kelola Pengungsi Internasional di Indonesia

Iklan Semua Halaman



.

Tantangan dan Tata Kelola Pengungsi Internasional di Indonesia

Redaksi @ reaksinews.id
Sabtu, 06 Januari 2024
Foto: Kuliah Tamu di Ruang Seminar Ampon Chiek, Universitas Almuslim Peusangan Bireuen Aceh (4/1)

BIREUEN | Dalam rangka meningkatkan pemahaman dan merespon perkembangan terkini persoalan pengungsi internasional, khususnya keberadaan para pengungsi Rohingya di Provinsi Aceh. 

Program Studi Ilmu Hubungan Internasional Universitas Almuslim Bireuen menyelenggarakan Kuliah Tamu dengan tema "Tata Kelola Penanganan Pengungsi di Indonesia: Tantangan dan Hambatan". Kegiatan ini berlangsung, Kamis 4 Januari 2024 di Ruang Seminar Ampon Chiek, Universitas Almuslim.

Kuliah tamu dan diskusi ini menghadirkan narasumber utama, Nino Viartasiwi, Ph.D, seorang peneliti pada RDI-UREF (Resilience Development Initiative-Urban Refugee Research Group) dan juga salah seorang pengajar pada Program Studi Hubungan Internasional di President University-Bekasi. 

Dalam kesempatan itu, Nino membahas apa saja yang menjadi tantangan dan hambatan pemerintah Indonesia dalam tata kelola penanganan pengungsi internasional di Indonesia.

Di bagian awal presentasinya, Nino Viartasiwi memaparkan, sebenarnya terdapat 12.000 lebih pengungsi internasional di Indonesia dari berbagai negara. Para pengungsi ini umumnya berasal dari negara-negara yang sedang mengalami konflik, seperti Afganistan, Yaman, Suriah, dan negara-negara di Afrika. 

Diperkirakan pengungsi Rohingya yang tiba di Aceh hingga akhir tahun 2022 lalu mencapai 1500 orang, dimana jumlah tersebut hanya menempati 10% dari total pengungsi internasional yang ada di Indonesia. 

Para pengungsi internasional dari beragam negara ini, umumnya mendiami tempat-tempat dan fasilitas yang telah disediakan pemerintah dan dibiayai oleh lembaga Internasional seperti UNHCR dan IOM dan Fasilitas penampungan dimaksud tersebar di beragam kota di Indonesia. 

"Sebenarnya jumlah pengungsi internasional di Indonesia masih lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah pengungsi yang ada di negara-negara tetangga, seperti Malaysia dan Thailand. Misalnya, Malaysia menampung setidaknya 150 ribu dan Thailand hampir 500 ribu pengungsi yang berasal dari berbagai negara di dunia," sebutnya. 

Negara-negara Eropa juga menampung jutaan pengungsi dari sejumlah negara yang berkonflik, sebagaimana keberadaan para pengungsi Ukraina di Polandia, Jerman dan Republik Ceko.

Masalah migrasi dan pengungsi internasional adalah isu politik internasional kontemporer yang perlu dinilai secara hati-hati, karena memiliki dimensi keamanan nasional dan kemanusiaan. 

"Walaupun Indonesia adalah wilayah transit dari para pengungsi internasional ini, sebut Nino

Pemerintah Indonesia seharusnya memiliki kebijakan tata kelola tersendiri sebagai rujukan pengelolaan pengungsi internasional, tentunya ketentuan itu dapat digunakan dalam penanganan kasus pengungsi Rohingya di Aceh saat ini, 

Sebaiknya pemerintah memastikan adanya fasilitas penampungan sementara yang memadai, sehingga tidak menganggu aktifitas keseharian masyarakat lokal. Apalagi keberadaan mereka 'Pengungsi' berpotensi menganggu ketertiban sosial, jika dibiarkan begitu saja, ujar peneliti Resilience Development Initiative-Urban Refugee Research Group itu 

Sementara, Shaummil Hadi, S.Sos, MA yang menjadi pembicara pendamping dari Universitas Almuslim menambahkan,  pemerintah Indonesia sebaiknya memastikan kapan fase emergensi dan post-emergensi dalam penanganan para pengungsi Rohingya yang tiba di Aceh akhir tahun lalu,

"Memastikan tahapan fase ini sangat penting, dikarenakan hal tersebut berupa langkah awal untuk menentukan bagaimana upaya pengelolaan yang lebih baik. 

Sebenarnya dapat dipelajari dari pengalaman penata kelolaan para penyintas bencana Tsunami 2004 lalu, dimana pada mulanya juga terkesan sengkarut sebelum pemerintah menyusun struktur pelembagaan dalam menjalankan mandat proses rehabilitasi dan rekonstruksi paska tsunami. 

Nah," Demikian pula terjadi dalam hal penanganan pengungsi Rohingya yang ada di Aceh saat ini, katanya 

Pemerintah Pusat setidaknya dapat membentuk kelembagaan tersendiri sebagai komando penanganan. Selanjutnya lembaga ini berkoordinasi secara efektif dengan lembaga internasional yang bertanggung jawab mengurusi pengungsi untuk menemukan solusi jangka panjang. 

Sehingga tidak membebani pemerintah daerah dan masyarakat lokal secara berlarut-larut dan berkepanjangan,

Narasi kebencian yang terbangun selama ini dapat mengarah pada sikap dehumanisasi bagi para pengungsi Rohingya dan bertentangan dengan Sila Kedua Pancasila, ungkap dosen Hubungan Internasional dalam kalimat penutupnya.(MI)