PIDIE,REAKSINEWS.ID | Dalam lintasan sejarah pendidikan dan keilmuan Islam di Aceh, nama Teungku Muhammad Ali Irsyad atau yang lebih dikenal sebagai Abu Teupin Raya, menjadi sosok penting yang tak hanya disegani karena kealiman, tetapi juga karena dedikasinya dalam membangun tradisi intelektual Islam yang kuat, khususnya dalam bidang ilmu falak. Lahir pada tahun 1921 di Gampong Kayee Jatoe, Mukim Teupin Raya, Kecamatan Glumpang Tiga, Kabupaten Pidie, beliau tumbuh dalam lingkungan keluarga terpandang, berdarah bangsawan sekaligus ulama.
Ayahnya, Teungku Muhammad Irsyad, adalah seorang qadhi sekaligus Ulee Balang Glumpang Payong di masa kolonial Belanda. Ibunya, Nyak Aisyah, berasal dari keluarga ulama dari Lapang, Lhoksukon, yang hijrah ke Teupin Raya. Kombinasi darah bangsawan dan ruh keilmuan inilah yang kemudian membentuk pribadi Abu sebagai figur dengan semangat keilmuan yang tinggi serta kepedulian terhadap masyarakat.
Pendidikan: Dari Dayah ke Al-Azhar
Sejak kecil, Abu Irsyad telah digembleng dengan pendidikan agama secara ketat oleh ayahnya sendiri. Di sisi lain, status ayahnya sebagai pejabat kolonial memberikan Abu akses terhadap pendidikan umum ala Belanda. Namun, perbedaan nilai antara pendidikan Islam dan pendidikan kolonial menimbulkan kegundahan batin yang mendorongnya untuk memilih mendalami ilmu agama secara total.
Perjalanan intelektualnya dimulai di Dayah Uteuen Bayu, Ulee Glee, di bawah bimbingan Teungku Abdul Madjid bin Abdurrahman. Setelah itu, beliau melanjutkan ke beberapa pusat pendidikan Islam di Aceh, termasuk ke Gandapura di mana ia menimba ilmu falak dari Teungku H. Usman Maqam, seorang ulama alumnus Mekkah.
Puncak pencariannya adalah saat ia diterima di Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir, pada tahun 1961. Melalui rekomendasi Menteri Agama RI saat itu, KH Wahid Hasyim, Abu Irsyad belajar langsung kepada ulama besar Syeikh Ulaa Al-Banna, dan menyelesaikan studi dalam bidang falak syar’i pada tahun 1966. Guru-gurunya di Al-Azhar bahkan mengakui kecerdasan dan kapasitas keilmuannya yang menonjol di antara para penuntut ilmu dari berbagai negara.
Kiprah Keilmuan dan Karya Monumental
Sepulang dari Mesir, Abu Irsyad dikenal luas sebagai Al-Falaqy, gelar yang menunjukkan keahliannya dalam ilmu falak. Ia menulis sedikitnya 28 karya ilmiah dalam berbagai disiplin keilmuan Islam, mulai dari tauhid, nahwu, hingga ilmu falak. Karya-karya tersebut tidak hanya dalam bahasa Arab, tetapi juga dalam bahasa Aceh dan Gayo, menandakan keluasaan jangkauan dakwah dan keilmuannya.
Beberapa karya terkenalnya antara lain:
- Awaluddin Ma’rifatullah (tauhid),
- Al-Qaidah (nahwu),
- Taqwimu Al-Hijri (falak),
- Ad-Da’watul Wahabiyah (kajian pemikiran dan gerakan).
Tak hanya menulis, Abu juga menyusun kalender abadi sebagai pedoman umat dalam menentukan waktu shalat, imsak, hingga awal bulan Qamariah. Karya ini menjadi kontribusi besar bagi pengembangan ilmu falak modern di Indonesia, khususnya di Aceh.
Sosok Pembaharu Pendidikan
Dalam usahanya membumikan ilmu pengetahuan dan pendidikan di tengah masyarakat, Abu mendirikan Dayah Darussa’adah di Teupin Raya, yang kemudian berkembang menjadi salah satu pusat pendidikan Islam terkemuka di Aceh. Ia juga menjadi pelopor integrasi pendidikan dayah dan sekolah formal dengan mendirikan SMP Darussa’adah (1984) dan SMA Darussa’adah (1986).
Langkah ini menunjukkan visi modern Abu dalam mengatasi dikotomi pendidikan agama dan umum yang selama ini menjadi perdebatan. Abu membuka akses bagi para santri maupun siswa umum untuk tinggal dan belajar dalam lingkungan dayah, sehingga terwujud pendidikan Islam yang komprehensif dan inklusif.
Pemikiran dan Moderasi
Abu Teupin Raya dikenal sebagai ulama yang moderat dan terbuka. Dalam fikih, ia mengikuti mazhab Syafi’i namun tetap menghargai pendapat dari empat mazhab utama. Dalam akidah, ia berpegang pada pemikiran Asy’ariyah. Prinsip persatuan umat (mura’atul adh-dhamir) menjadi dasar dalam seluruh aktivitas dakwah dan pendidikannya.
Pengaruh Sosial dan Sejarah
Abu tumbuh dalam masa transisi sejarah Aceh dari penjajahan ke kemerdekaan. Ia menyaksikan perlawanan sengit rakyat Aceh terhadap kolonial Belanda, termasuk perpindahan pusat perjuangan dari Keumala ke Samalanga, hingga ke tanah Gayo. Setelah perlawanan bersenjata mulai meredup, estafet perjuangan dilanjutkan oleh para ulama melalui jalur pendidikan. Abu menjadi salah satu tokoh sentral dalam era ini, yang mengembalikan fungsi dayah sebagai pusat kebangkitan umat.
Warisan dan Keteladanan
Dalam kehidupan pribadinya, Abu dikaruniai keturunan dari tiga istri, yang turut melanjutkan kiprah dan perjuangannya. Ia dikenang bukan hanya sebagai ahli ilmu falak, melainkan sebagai ulama pembaharu, pendidik, penulis, dan pemimpin masyarakat.
Keteladanan Abu Teupin Raya terus hidup dalam ribuan santri dan masyarakat Aceh yang pernah bersentuhan dengan ajaran dan pemikiran-pemikirannya. Dayah Darussa’adah hari ini bukan hanya simbol kejayaan pendidikan Aceh, tetapi juga menjadi jejak monumental dari warisan seorang ulama besar yang hidup sepenuhnya untuk ilmu dan umat.
Barakallah fiikum. Semoga kisah dan warisan beliau menjadi cahaya bagi generasi mendatang.
Kolaborasi dari Berbagai Sumber, mohon masukan, sekiranya ada kesilapan dalam penulisan (**)