Oleh: Juwaini Husen
Foto: Ilustrasi
BIREUEN,REAKSINEWS.ID | Cerah mentari pagi membawa berkah dan anugerah membuka lembaran hari hidup seisi jagat Maya, namun nikmatnya tidak membawa kedamain bagi sebagian orang. Terbangkit dari lena semalam," Bukan lantaran kokokan ayam ataupun gema adzan yang berkumandang di surau sebelah, tidak lain hanya melawan letihnya tubuh untuk kembali mengisi waktu.
Di sebuah rumah berdinding papan di pelosok Gampong Batee Iliek, seorang ibu muda berdiri di dapur sejak fajar belum sempurna. Matanya sembab, tubuhnya lelah, namun tangannya tak henti berpangku dada.
"Mencuci piring sisa semalam, merendam cucian, menggoreng ikan, meracik sambal, dan menyiapkan menu sederhana untuk jajanan warung kecil depan rumah. Semua itu ia lakukan sambil tetap mengurus empat buah hatinya—Jafaruddin dijenjang Madrasah Aliyah Negeri, Jufriadi yang baru mulai MTsN, Jailani MI dan si bungsu, Juliari yang masih di jenjang Sekolah PAUD.
Namun di tengah hiruk-pikuk itu, sang suami—yang ada di rumah—masih lelap. Ia bukan pemalas, melainkan tanggung jawab Profesi yang kerap menguras jam malamnya kadang kala hingga ke pagi.
“Berkali-kali mencoba membangunkannya dengan lembut, terkadang disulut emosi. Tapi tetap saja, belum bisa berubah,” ucapnya lirih.
Pagi itu, saat ia sedang menyuapi Juliadi, ia kembali ke kamar untuk kesekian kalinya. Emosinya memuncak. Ia sedikit membentak. Tapi yang didapat bukan pemahaman. Ia justru diterkam dengan geram hingga terdiam dalam ketidak relaan.
Anak-anak memanggil. Ia pun kebingungan—bukan hanya karena malu, tapi karena kebutuhan anak yang tanpa sengaja telah tertunda.
“Aku sedikit termangu dalam kesadaran karena merasa dihargai. Aku sudah melalui berbagai liku, cobaan dan rintangan bersamanya, moga ini menjadi kisah perjalanan panjang yang diridhai dan berarti,” katanya.
Ia tak menuntut banyak. Tak pernah meminta kemewahan. Hanya ingin didampingi, dihargai, dan dibantu.
Ia tahu betul bagaimana rasanya jadi miskin. Ia tahu pahitnya ketika anaknya hanya bisa berdiri di sudut halaman sekolah, menggenggam uang receh, sementara teman-temannya memesan jajanan.
Namun, harapan tetap hidup dalam dirinya. Setiap kali anak-anaknya tertidur pulas, ia temukan alasan untuk bertahan. Dan menyimpulkan sebagai bagian dari sebuah perjalanan dalam artian "Jeritan Dahaga Kasih Dibalik Layar Kemiskinan.
“Aku ini tulang rusuk, sekaligus tulang punggung. Aku tak bisa menyerah. Untuk mereka, aku akan terus bertahan, meski hatiku berkecamuk melewati hari.”
Catatan:
Kisah ini ditulis berdasarkan pengalaman nyata seorang ibu rumah tangga di Kabupaten Bireuen, Aceh. Redaksi menyamarkan identitas narasumber untuk melindungi privasinya.(**)
Penulis: Juwaini Husen
Batee Iliek, Bireuen – Aceh
1 Agustus 2025