Oleh: Juwaini Husen
Foto: Documentary Relawan COVID-19 di Objek Wisata, Legendaris Paya Nie, Gampong Blang Me, Kuta Blang, Bireuen (3 Mei 2020)
BIREUEN,REAKSINEWS.ID | Di tengah bentang alam Kabupaten Bireuen, tepatnya di Kecamatan Kutablang, tersembunyi sebuah kisah legenda yang mengalir dari generasi ke generasi. Kisah ini berasal dari sebuah Gampong (Desa) bernama Blang Me, tempat di mana terbentang sebuah rawa luas yang dikenal masyarakat sebagai Paya Nie. Rawa ini bukan hanya menjadi sumber penghidupan, namun juga menyimpan cerita mistis yang menggetarkan sekaligus menggugah.
Dahulu, wilayah ini merupakan bagian dari Aceh Utara, sebelum akhirnya mengalami pemekaran wilayah dan melahirkan Bireuen sebagai kabupaten sendiri. Paya Nie kini direvitalisasi menjadi simbol lokal dalam nuansa Objek Wisata yang tak terpisahkan dari sejarah dan identitas masyarakat sekitar.
Selain sebagai habitat alami ikan air tawar seperti gabus, sepat, dan gurami, Paya Nie juga pernah menjadi saksi sejarah kelam konflik bersenjata di Aceh. Pada masa konflik di awal 2000-an, kawasan ini sempat diberitakan luas karena diduga menjadi tempat persembunyian para kombatan. Serangan udara dan bombardir sempat terjadi di sekitar rawa ini, meninggalkan bekas sejarah yang tak mudah dilupakan.
Foto: Dokumentasi Relawan Covid-19 Bireuen di Rawa Gambut Legendaris Paya Nie (3 Mei 2020)
Namun, lebih dari itu, masyarakat setempat mengenal Paya Nie dari kisah legenda yang menyelimuti keberadaannya. Cerita ini berkisar pada sosok perempuan tua salehah bernama Cut Nie, yang hidup bersama putrinya yang cantik jelita, Putroe Nie. Cut Nie dikenal sebagai sosok yang taat beragama dan penyayang. Setelah bertahun-tahun menanti, ia dianugerahi seorang anak perempuan yang ia jaga dengan sangat ketat, menjauhkan dari segala pengaruh dunia luar.
Sejak kecil hingga menjelang dewasa, Putroe Nie dilarang keras keluar rumah, bahkan menyentuh tanah pun menjadi hal yang tabu baginya. Cut Nie percaya bahwa dunia luar menyimpan bahaya yang dapat mengubah jalan hidup putrinya. Namun ketika Putroe Nie tumbuh menjadi seorang gadis dewasa, sang ibu mulai mempersiapkan pernikahan sang anak dengan penuh suka cita.
Suatu hari, menjelang hari pernikahan, Cut Nie pergi ke pasar untuk membeli keperluan tambahan. Sebelum berangkat, ia meminta Putroe Nie menjaga jemuran padi yang telah disiapkan untuk pesta pernikahan. Ia juga berpesan agar sang putri tak menginjak tanah, karena diyakini akan membawa malapetaka.
Namun, malang tak dapat ditolak. Saat Putroe Nie duduk di tangga, sekawanan ayam datang mematuk padi yang dijemur. Dengan berbagai cara ia mencoba menghalau mereka tanpa turun ke tanah. Namun ayam-ayam itu kembali datang, dan saat hujan mulai turun, Putroe Nie terpaksa menginjak tanah untuk menyelamatkan padi agar tidak basah.
Tak lama setelah itu, badai besar melanda. Petir menyambar, langit menghitam, dan air menggenangi seluruh kawasan hingga menenggelamkan rumah mereka. Saat badai reda, kawasan itu berubah menjadi rawa luas. Konon, itulah awal mula terbentuknya Paya Nie – "Rawa milik Nie".
Legenda ini masih hidup dalam ingatan kolektif masyarakat Blang Me dan sekitarnya. Dikisahkan dengan berbagai versi, namun semuanya mengandung pesan tentang kepatuhan, pengorbanan, dan kekuatan cinta seorang ibu. Di balik keheningan Paya Nie, tersimpan riwayat mistik yang terus menginspirasi dan menjadi bagian dari kekayaan budaya Aceh.(**)