Foto: Ketua PTUN Banda Aceh menolak Kasasi Keuchik Gampong Karieng, Kecamatan Peudada,Kabupaten Bireuen (11/3)
BANDA ACEH,REAKSINEWS.ID | Sengketa hukum antara perangkat Gampong Karieng, Kecamatan Peudada, Kabupaten Bireuen, dengan Keuchik berinisial AZ, resmi berakhir di meja hijau. Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Banda Aceh menolak permohonan kasasi yang diajukan pihak keuchik, sekaligus memperkuat dua putusan sebelumnya yang memenangkan Mahdi dan rekan-rekannya sebagai penggugat.
Putusan tersebut tertuang dalam penetapan Ketua PTUN Banda Aceh, Husein Amin Effendi, SH, MH, tertanggal 11 Maret 2025. Dalam amar penetapannya, PTUN memerintahkan panitera untuk mencoret permohonan kasasi dari register perkara dan tidak meneruskan berkas ke Mahkamah Agung. Sisa panjar biaya perkara juga diperintahkan untuk dikembalikan kepada pemohon.
Penolakan kasasi ini didasarkan pada ketentuan Pasal 45A ayat (2) dan (3) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 jo. UU Nomor 14 Tahun 1985, serta sejumlah Surat Edaran Mahkamah Agung. Perkara dinyatakan tidak memenuhi syarat kasasi, sehingga putusan PTUN Banda Aceh dan PT TUN Medan berkekuatan hukum tetap (inkracht).
Dengan demikian, Mahdi dan sejumlah perangkat gampong yang sebelumnya diberhentikan secara sepihak oleh Keuchik AZ, kini diakui sah secara hukum sebagai perangkat desa aktif di Gampong Karieng.
Mahdi: Hukum Menang, Tapi Luka Sosial Masih Menganga
Dikonfirmasi usai keluarnya keputusan tersebut, Mahdi, yang menjabat sebagai Sekretaris Desa (Sekdes), menyambut baik putusan hukum yang mengembalikan hak-haknya. Namun ia juga mengungkapkan kekecewaan atas proses panjang dan penuh tekanan yang dialaminya.
“Kami difitnah, diframing, bahkan ada saksi palsu di persidangan. Saya hadir tanpa pengacara, hanya bersandar pada keyakinan bahwa kebenaran akan menang. Dan hari ini, hukum membuktikannya,” ujarnya.
Ia juga menyinggung janji keuchik yang sempat menyatakan akan mundur dari jabatan jika kalah dalam proses hukum. “Kini saatnya pembuktian. Apakah Keuchik AZ akan konsisten pada ucapannya di forum resmi, atau justru tetap cawe-cawe meski secara hukum sudah kalah?” kata Mahdi.
Validitas APBG 2024 dan Honor Perangkat Baru Dipertanyakan
Mahdi turut menyoroti potensi pelanggaran hukum lanjutan yang terjadi usai pemberhentiannya. Menurutnya, perangkat desa pengganti yang diangkat lewat Surat Keputusan kolektif kini terbukti tidak sah. Ia mempertanyakan keabsahan honorarium yang telah diterima mereka, serta dokumen-dokumen keuangan desa yang ditandatangani oleh Sekdes tidak sah secara hukum.
“Ini bukan sekadar pelanggaran administratif. Jika jabatan dipakai oleh pihak yang tidak memiliki kewenangan hukum, maka seluruh proses termasuk penandatanganan APBG 2024 bisa batal demi hukum,” ujarnya. Ia pun meminta Aparat Penegak Hukum (APH) turun tangan mengusut dugaan pemalsuan dokumen dan penyalahgunaan wewenang.
Mahdi berharap putusan inkracht ini menjadi momentum bagi pemerintah daerah dan aparat hukum untuk menegakkan etika, transparansi, dan supremasi hukum di tingkat pemerintahan gampong.(**)