Warga Kecewa: Sidang Belum Selesai, PN Takengon Bebaskan Terdakwa Penganiayaan

Foto: Ummi Kalsum, Pelapor (26/5) 

TAKENGON,REAKSINEWS.ID | Keputusan majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Takengon yang mengalihkan status penahanan terdakwa kasus penganiayaan, Mulyadi, dari Rumah Tahanan (Rutan) menjadi tahanan kota, memicu gelombang kekecewaan di tengah masyarakat, khususnya warga Kampung Kala Kemili, Kecamatan Bebesen, Kabupaten Aceh Tengah.

Sidang kedua yang digelar pada Kamis (22/5/2025) itu menjadi sorotan setelah hakim memutuskan bahwa Mulyadi tidak lagi perlu ditahan di Rutan. Alasannya, terdakwa masih menjabat sebagai Reje atau kepala desa, sehingga dinilai perlu menjalankan tanggung jawab pemerintahan di kampungnya. Putusan ini kemudian resmi diberlakukan pada Senin (26/5/2025).

Namun, informasi mengenai status jabatan Mulyadi langsung dibantah oleh pihak pelapor, Ummi Kalsum, yang juga warga Kampung Kala Kemili. Menurut Ummi, Mulyadi telah diberhentikan dari jabatannya dan saat ini desa sudah dipimpin oleh Penjabat (Pj) Reje yang ditunjuk oleh pihak kecamatan.

"Status sebagai Reje itu sudah tidak berlaku. Ada Pj Reje yang ditunjuk secara resmi. Maka sangat janggal bila alasan itu dipakai sebagai dasar pembebasan dari tahanan Rutan," ujar Ummi dalam keterangannya kepada wartawan, Senin (26/5/2025).

Kasus Tak Ringan

Kasus yang menjerat Mulyadi bukan perkara ringan. Ia diduga melakukan pengeroyokan dan penganiayaan terhadap seorang perempuan dan anak di bawah umur. Ummi Kalsum menyayangkan keputusan majelis hakim yang dinilai tidak mempertimbangkan dampak psikologis dan sosial terhadap korban.

"Ini bukan sekadar pelanggaran ringan. Ada unsur kekerasan terhadap perempuan dan anak. Bagaimana mungkin pelaku justru diberi kelonggaran hukum hanya karena alasan jabatan yang bahkan sudah tidak dia emban lagi?" tegasnya.

Majelis hakim yang memutuskan perkara ini terdiri dari Rahma Novatiana, S.H. sebagai Ketua Majelis, serta dua hakim anggota, Bani Muhammad Alif, S.H., dan Chandra Khoirunnas, S.H., M.H.

Ummi mengaku akan melanjutkan upaya hukum untuk mencari keadilan. Ia berencana melaporkan dugaan ketidaknetralan hakim ke Pengadilan Tinggi Jakarta Pusat dan Komisi Yudisial Republik Indonesia.

"Saya khawatir proses hukum ini tidak berjalan adil. Sidang belum selesai, tapi terdakwa sudah diberikan status tahanan kota. Ini bisa menjadi preseden buruk dan merusak kepercayaan masyarakat kecil terhadap institusi hukum," ujarnya.

Desakan Pengawasan

Kasus ini menjadi perhatian serius kalangan masyarakat dan pegiat hukum di Aceh Tengah. Sejumlah aktivis mendorong Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung untuk memantau proses hukum yang sedang berlangsung agar berjalan transparan dan akuntabel.

Pemerhati hukum dari Takengon Legal Watch, M. Irwansyah, menyatakan bahwa setiap bentuk pengalihan status tahanan harus mempertimbangkan aspek kepatutan, risiko terhadap korban, dan potensi intervensi hukum.

"Pengadilan harus menjadi tempat keadilan ditegakkan, bukan tempat kekuasaan dilanggengkan. Jika ada celah dalam pertimbangan hukum, lembaga pengawas wajib turun tangan," kata Irwansyah.

Hingga berita ini diturunkan, belum ada pernyataan resmi dari pihak PN Takengon terkait polemik tersebut.(Rimueng) 

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak